Kemarin paman datang,
bukan. ia bukan dari desa.
jadi dia tidak membawa apa apa.
tidak membawa rambutan, pisang, dan sayur mayur segala rupa.
Namun paman bercerita,
bukan. ia bukan bercerita tentang ternaknya yang berkembang biak. bukan.
ia bercerita tentang hidup. tentang pencapaiannya. tentang segala, yang terutama tentang bibi.
“Bibi-mu itu, aduh.” katanya sambil menyalakan rokok-yg-entah-keberapa-batang
“Hah? aduh, apanya? aduh..hai?” celetuk asal, asalan, siap di sundut.
“Bila tak ada dia, entahlah.”
“Maksudnya, entah?”
“entah apa arti hidup, entah apa tujuan hidup, entah bagaimana menuju dan membuat jejak pada tujuan hidup.”
pikiranku berhembus dan melayang bersama asap rokok yang ia hembuskan.
***
Hanum, nama yang harum, sederhana, persis seperti pribadinya. sederhana, tidak banyak tanya, tidak banyak maunya. tidak pernah melarang ini itu, tidak pernah merengek karena sesuatu. sesederhana itu. sesimpel itu. hati dapat terjatuh, memilih dengan yakin bahwa dia yang saya cari selama mengembara sekian lama, menjajaki hati hati para wanita yang sangat jauh berbeda.
“jangan tanyakan pada saya boleh atau tidak. kamu sudah dewasa tentukan sendiri saja lah. aku bukan ibu mu yang berhak melarang ini itu, aku ini rekan sekerja mu, aku hanya bisa mengerjakan apa yang jadi bagianku untuk sebuah proyek rumah tangga yang akan kita bina, bersama. jadi aku rasa kamu tau juga apa saja yang menjadi bagianmu, mana yang kira kira tidak baik untuk proyek kita bersama dan mana yang baik adanya.”
“kamu selalu bisa, buat membuat saya tak tau harus menjawab apa selain iya.”
Hanum seorang guru di salah satsu sekolahan di desa ternama pada masanya, kecintaannya terhadap anak – anak dan juga pendidikan menjadi alasan yang mendasar, mengapa ia betah dan tak mau pindah.
“Buat apa saya bekerja, pada hal yang tak saya gemari. hanya buang buang waktu saja. lagipula, sekolah ini, anak – anak ini. Ah! Lan, pergilah ke jakarta, bila disana merupakan panggilan hatimu. aku tetap disini. Seperti yang kamu tau aku tidak pernah melarangmu, aku selalu mendukungmu, selalu.” katanya dengan intonasi seperti biasa, intonasi suara yang saya suka.
“Num, atas setiap pekataanmu, aku luluh. Namun kali ini bisakah aku mendengar larangnmu. atau solusi yang terbaik untuk hubungan kita kedepannya? Ini berbiacara mengenai masa depan, Num. Jakarta, ibu kota, kita, dan desa, tempat dimana aku akhirnya bertemu kamu, yang membuat aku utuh.”
“Pergilah, Lan, aku disini, menunggu kamu, menyelesaikan apa – apa yang ingin kamu raih. Tawaran kerja itu, mengajar di sekolahan ternama di Jakarta. Kesempatan selalu tau kapan ia harus menghampirimuu dan kapan ia harus berlalu. sekalli berlalu, jangan harap ia kembali padamu, kesempatan itu sombong, Lan.”
“Aku akan menikahimu kalau begitu.”
“Menikah? bukan perkara mudah, Lan.”
“Ini cita – cita kita, bukan begitu?”
“Cita – cita bisa berbelok, sesuai dengan kondisi dan gencatan – gencatan kenyataan. Kamu tau, Lan. Pilihan pilihan dalam hidup hanya dua. iya, atau tidak. jangan taruh dirimu di antaranya.”
Saya masih diam. dalam posisi yang sama. posisi dimana saya hanya menunduk tak berdaya. kali ini tak bisa saya berkata “IYA”, tidak juga “TIDAK”, elbih ke entah.
Esoknya, Hanum mengantarku ke stasiun, tempat dimana entah sebuah cita cita dimulai, atau cita – cita terabai.
“Num, aku pasti kembali. aku siapkan tempat yang indah di Jakarta, yo.” mataku memegang matanya, tepat, sesaat ia menunduk, karena tak ingin kelihatan terpuruk atas kepergianku.
“Jangan ucapkan janji yang akhirnya kamu konsumsi sendiri, lan. Jakarta, kamu akan terbuai dengan keindahan – keindahan disana. tapi kamu tau lan, saya pasti tunggu kamu pulang. hal – hal indah, ketika kamu ada di samping saya, lan. indah-ku tak jauh dari kamu. utuh.”
“Num, jangan membuat kaki-ku berat melangkah. kata – kata-mu itu, num.” kalimatku beradu dengan teriakan kenek bis yang meneriakan tujuan ku hari itu. Jakarta.
dengan sebuah pelukan yang mengandung perekat, aku mendekap tubuh hanum yang kecil, mungil, dan dapat terasa pula kemeja coklat yg basah, percampuran keringat dan air mata.
***
“Paman, aku rasa kita perlu istirahat, besok subuh – subuh sekali kita akan pulang ke desa bukan?”
“Ah, iya…”
“Bibi sudah tenang bukan? walaupun tak pernah kulihat wajahnya. namun pasti cantik seperti namanya.”
“Cantik, pasti. seperti terakhir kali saya melihatnya, sesaat sebelum pergi ke jakarta, waktu itu. dulu.”